Islam dan Aborsi Satu Tinjauan Hukum Fikih.
ISLAM DAN ABORSI SATU TINJAUAN HUKUM FIKIH[1]
Allah Azza wa Jalla dengan hikmah-Nya yang agung menjadikan keturunan sebagai satu tuntutan alami pada manusia. Keturunan ini ada akibat bertemunya sepasang suami istri dengan cara yang telah dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at. Lalu menjadikan anak dan keturunan yang disukai sebagai buah pernikahan dan dicintai setiap manusia yang masih lurus fitrahnya.
Begitu pentingnya keturunan dan nasabnya ini, sehingga Islam menjadikannya sebagai salah satu dari lima perkara penting dan pasti terjaga dalam Islam (adh-Dharuriyât al-Khamsu). Dari sini perhatian dan perlindungan janin termasuk perkara penting agama Islam dalam seluruh fase-fase pembentukannya. Apalagi di masa kiwari (masa kini) ini yang bermunculan beragam sarana yang mudah dan modern untuk menggugurkan kandungan. Banyaknya iklan dan slogan kebebasan berekspresi dalam semua sektor kehidupan membawa manusia melakukan perbuatan nista tanpa ada rasa malu dan takut kepada Allah Azza wa Jalla . Banyaknya orang hamil di luar nikah membuat mereka akhirnya mengambil aborsi sebagai salah satu solusi menghilangkan rasa malu pada masyarakat.
Hal ini menjadi semakin parah dengan adanya campur tangan tangan-tangan jahat musuh Islam yang ingin merusak tata kehidupan dan kualitas kaum Muslimin sekarang ini. Karena itulah, perlu sekali adanya pencerahan tentang permasalahan ini agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap hak dan kemulian janin.
Definisi Aborsi Antara Medis dan Syari’at.
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) dikenal dalam istilah para ulama Islam dengan al-Ijhâdh atau as-Saqthu. Ada juga yang menyebutnya al-Imlâsh atau al-Islâb.
Aborsi dalam istilah medis adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
Sedangkan dalam istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna; walaupun janin belum mencapai usia enam bulan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi secara syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin tersebut.
Klasifikasi Abortus.
Keguguran atau abortus (al-Ijhâdh) dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis:
- Al-Ijhâdh at-Tilqâ’i atau al-‘Afwi ( Abortus spontanea) yaitu proses alami yang dilakukan rahim untuk mengeluarkan janin yang tidak mungkin sempurna unsur-unsur kehidupan padanya. Bisa jadi ini terjadi dengan sebab kecacatan besar yang menimpanya karena akibat sakitnya sang ibu yang terkena penyakit beragam seperti diabetes atau lainnya.
- Al-Ijhâdh al-‘Ilâji (Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus) adalah abortus (keguguran) yang sengaja dilakukan para medis (dokter) demi menyelamatkan nyawa ibu yang dalam keadaan sangat jarang bahwa kehamilannya dapat berlanjut dengan selamat.
- Al-Ijhâdh al-Ijtimâ–’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi (Abortus Provokatus Kriminalis) adalah aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Tujuannya hanya untuk tidak melahirkan bayi atau untuk menjaga penampilan atau menutupi aib dan sejenisnya. Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan berbagai cara termasuk dengan alat-alat atau obat-obat tertentu.
Syari’at Memandang Aborsi
Melihat klasifikasi yang ada di atas, dapat dilihat bahwa jenis pertama tidak masuk dalam kemampuan dan kehendak manusia, sehingga tentunya masuk dalam firman Allah Azza wa Jalla :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.[al-Baqarah/2:168]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وُضِعَ عَنْ أُمَّتِيْ الخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Dimaafkan dari umatku kesalahan (tanpa sengaja), lupa dan keterpaksaan [HR al-Baihaqi dalam Sunannya dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul-Jâmi no. 13066]
Sedangkan jenis kedua tidaklah dilakukan kecuali dalam keadaan darurat yang menimpa sang ibu, sehingga kehamilan dan upaya mempertahankannya dapat membahayakan kehidupan sang ibu. Sehingga aborsi menjadi satu-satunya cara mempertahankan jiwa sang ibu; dalam keadaan tidak mungkin bisa mengupayakan kehidupan sang ibu dan janinnya bersama-sama. Dalam keadaan seperti inilah mengharuskan para medis spesialis kebidanan mengedepankan nyawa ibu daripada janinnya. Memang nyawa janin sama dengan nyawa sang ibu dalam kesucian dan penjagaannya, namun bila tidak mungkin menjaga keduanya kecuali dengan kematian salah satunya maka hal ini masuk dalam kaedah “Melanggar yang lebih ringan dari dua madharat untuk menolak yang lebih berat lagi”[2]
Di sini jelaslah kemaslahatan mempertahankan nyawa sang ibu didahulukan daripada kehidupan sang janin, karena ibu adalah induk dan tiang keluarga. Dengan takdir Allah Azza wa Jalla ia bisa melahirkan berulang kali, sehingga didahulukan nasib sang ibu dari janinnya.
Syaikh Ahmad al-Ghazâli seorang Ulama Indonesia menyatakan: “Adapun ulama Indonesia berpendapat keharaman aborsi kecuali apabila ada dengan sebab terpaksa yang harus dilakukan dan menyebabkan kematian sang ibu. Hal ini karena syari’at Islam dalam keadaan seperti itu memerintahkan untuk melanggar salah satu madharat yang teringan. Apabila tidak ada di sana solusi lain selain menggugurkan janin untuk menjaga hidup sang ibu”.[3] Wallâhu a’lam
Permasalahan yang penting dalam pembahasan ini adalah hukum aborsi jenis ketiga yaitu Al-Ijhâdh al-Ijtimâ’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi (Abortus Provokatus Kriminalis).
Hukum Aborsi Jenis Ini.
Telah dimaklumi bahwa janin mengalami fase-fase pembentukan sebelum menjadi janin yang sempurna dan lahir menjadi bayi. Di antara pembeda yang banyak dilihat para ahli fikih yang berbicara dalam hal ini adalah adanya ruh dalam janin tersebut. Dengan dasar ini maka hukum aborsi dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua:
Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh
Melihat pendapat para Ulama fikih dari berbagai madzhab, dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka dalam masalah ini menjadi 3 kelompok:
- Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum ditiup ruh pada janin. Ini pendapat minoritas Ulama madzhab Syâfi’iyah, Hambaliyah dan Hanafiyah.
- Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum dimulai pembentukan bentuk janin yaitu sebelum empat puluh hari pertama. Ini pendapat mayoritas mazhhab Hanafiyah, Syâfi;’iyah dan Hambaliyah. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.
- Kelompok yang mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan dalam rahim. Ini pendapat yang rajih dalam madzhab Mâlikiyah, pendapat imam al-Ghazâli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab al-Hambali dan Ibnu al-Jauzi. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah.
Pendapat inilah yang dirajihkan mayoritas Ulama kontemporer dewasa ini, karena adanya pelanggaran terhadap hak janin untuk hidup dan juga hak masyarakat. DR. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa para Ulama sepakat mengharamkan aborsi tanpa udzur setelah bulan keempat, yaitu setelah berlalu seratus dua puluh hari dari permulaan kehamilan. Mereka juga sepakat menganggap ini sebagai kejahatan yang mengharuskan adanya diyat, karena ada upaya menghilangkan jiwa dan pembunuhan. Saya sendiri merajihkan larangan aborsi sejak awal kehamilan, karena adanya kehidupan dan permulaan pembentukan janin; kecuali karena keadaan darurat seperti terkena penyakit akut/parah contohnya kelumpuhan atau kanker. Saya sendiri condong sepakat dengan pendapat al-Ghazâli yang menganggap aborsi, walaupun dilakukan di hari pertama kehamilan adalah seperti membunuh janin hidup-hidup (al-Wa`du) yang merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang ada.[4]
Sedangkan Syaikh Ahmad Sahnuun seorang Ulama dari Maroko menyatakan: “Aborsi adalah perbuatan tercela dan kejahatan besar yang dilarang dalam Islam. Juga diingkari jiwa kemanusian dan jiwa-jiwa yang mulia menolaknya. Sebab hal itu adalah pembunuhan jiwa yang Allah Azza wa Jalla haramkan, perubahan ciptaan Allah Azza wa Jalla dan menentang takdir/kehendak Allah Azza wa Jalla ”. Islam telah melarang membunuh jiwa seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (al-Isra`/17:33) sebagaimana juga melarang sikap merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya. [an-Nisaa`/4:119]
Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, [at-Takwîr/81: 8]
Baik aborsi dilakukan di fase awal janin atau setelah ditiupkan ruh padanya. Sebab semua fase pembentukan janin berisi kehidupan yang harus dihormati, yaitu kehidupan pertumbuhan dan pembentukannya. Hal ini menyelisihi orang-orang yang membolehkan aborsi sebelum ruh ditiupkan. Mereka beranggapan bahwa sebelum adanya ruh maka tidak ada kehidupan padanya, sehingga tidak ada kejahatan dan keharaman. Mereka dengan membolehkan hal itu berarti telah membuka pintu yang sulit dibendung dan memberikan senjata kepada tangan lawan dan musuh Islam untuk mencela Islam. Juga melegalkan semua yang terjadi di luar negara Islam yang berupa perbuatan nista dan tercela; yang membuat pusing para intelektual dan menggoyangkan tatanan gereja dan para pendetanya. Setelah dipastikan secara ilmiyah bahwa aborsi memiliki bahaya bagi kesehatan dan kehidupan wanita, sehingga aborsi diharamkan untuk dilakukan, karena menghilangkan madharat lebih didahulukan dari mengambil kemaslahatan.[5]
Sedangkan DR. Ibrahim Haqqi menyatakan: “Diharamkan aborsi karena merupakan pembunuhan jiwa yang tidak berdosa dan menjerumuskan jiwa lainnya yaitu sang ibu kepada bahaya yang banyak hingga bahaya kematian. Ini adalah perkara yang terlarang.”[6]
Demikian juga pendapat yang disampaikan Syaikh Ahmad al-Ghazâli seorang Ulama Indonesia mengatasnamakan Ulama Indonesia.[7]
Inilah pendapat yang dirajihkan Umar bin Ibrahim Ghânim penulis kitab Ahkâmul-Janîn dalam pernyataan beliau : “Sudah pasti pendapat kelompok yang melarang aborsi sejak pembuahan adalah yang lebih dekat kepada kebenaran dan sesuai dengan ruh Islam. Ruh Islam yang memerintahkan untuk melindungi dan menjaga keturunan; juga menghalangi kesempatan pengekor hawa dan nafsu syahwat yang ingin mengambil kesempatan untuk merealisasikan tujuan dan keinginan mereka untuk melemahkan keturunan kaum Muslimin. Demikian juga fatwa larangan ini termasuk saddu adz-Dzarî’at yang sangat bersesuaian dengan ruh syari’at Islam yang mulia.
Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh Pada Janin (setelah empat bulan)
Telah dijelaskan bahwa ada perbendaan pendapat di antara para Ulama dalam hukum aborsi saat sebelum peniupan ruh pada janin. Sedangkan setelah peniupan ruh, para ahli fikih sepakat bahwa janin telah menjadi manusia dan bernyawa yang memiliki kehormatan dan kemuliaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (al-Isrâ`/18 : 70) dan firman Allah Azza wa Jalla :
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. [al-Mâidah/5:32]
Di antara Ulama yang menukil kesepakatan ini adalah Ibnu Jizzi[8], DR. Wahbah az-Zuhaili[9] dan DR. Muhammad Ali al-Bâr[10]
Demikianlah, menjadi jelas bagi kita bahwa aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin adalah kejahatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan sangat darurat yang dipastikan. Caranya dengan mengambil keputusan para medis yang terpercaya dan ahli di bidang tersebut; yaitu bahwa adanya janin itu membahayakan kehidupan sang ibu. Perlu diketahui dengan adanya kemajuan sarana kedokteran modern dan kemampuan ilmu serta tersedianya semua keperluan tentang hal itu, maka aborsi untuk penyelamatan nyawa ibu adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi. Wallâhu a’lam.
Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diadaptasi dari kitab Ahkâmul-Janîn fîl-Fiqhil-Islâm, karya Umar bin Muhammad bin Ibrâhim Ghânim, cetakan pertama tahun1421 H, Dâr Ibni Hazm
[2] Irtikâbul khaffi ad-Dhararain Lidaf’i A’lahuma
[3] Al-Ijhâdh wa Nazharatul-Islam Ilaihi –makalah yang disusun Ahmad al-Ghazâli dan diajukan kepada muktamar ar-Ribâth yang diadakan dari tanggal 24-29/11/19721 M.
[4] Al-Fikhul-Islami wa Adilatuhu 3/556-557
[5] Al-Ijhâdhul-‘Amd , makalah disampaikan dalam muktamar ar-Ribâth hal. 309-346
[6] Mauqifud-Dinil-islâm minal-Ijhâdh, makalah yang disampaikan dalam muktamar ar-Ribâth, lihat Islam wa tanzhîm al-Wâlidiyah hal. 418.
[7] Al-Ijhâdh wa Nazharatul-Islâm Ilaihi –makalah yang disusun Ahmad al-Ghazâli dan diajukan kepada muktamar ar-Ribâth yang diadakan dari tanggal 24-29/11/19721 M.
[8] Al- Qawâninul-Fiqhiyah hal.141
[9] Al-Fiqhul-Islâmi wa Adillatuhu 3/556
[10] Siyâsah wa Wasâil tahdîdin-nasl hal. 167
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3362-islam-dan-aborsi-satu-tinjaun-hukum-fikih.html